Selasa, 14 Maret 2017

Caraku Menikmati Ketinggian


Tiupan angin gunung sesekali terdengar bergemuruh, yang sesekali juga menggoyangkan tenda yang baru saja ditegakkan, tak terlalu besar cukup untuk dihuni 6 orang. Sementara di luar tenda, kopi susu panas racikan ala anak kincai siap menemani malam.

Jam di tangan mengabarkan pukul 11 malam, sebentar lagi akan beranjak dini hari,di dalam tenda mungil, lima teman-ku bersembunyi di balik selimut, barangkali takut serangan angin gunung yang kapan saja bisa menyelusup.

Saat malam telah larut bersamaan jatuhnya hujan—tak begitu lebat, meskipun begitu, bulan terlihat tersenyum dengan kecerahaannya, dihiasai pula kelap-kelip cahaya bintang. Terlalu sayang untuk di lewatkan begitu saja.

Aku keluar dari tempat persembunyian, bersiap menantang dan menikmati suasana menyiksa di puncak marapi. Sederhana senjataku: segelas kopi susu panas dan alatmusik, lalu segera meluncur di sebuah tempat bersejarah bernama tugu Abel Tasman.

Aku dapati sebuah tempat pas untuk duduk santai dan inilah saat-saat yang pas untuk berburu kenikmatan di tengah susasan yang menyiksa di ketinggian pegunungan.

Begini caranya...

Sejenak kupejamkan mata, lalu menghirup tipisnya oksigen diketinggian, membiarkan dia merasuki tubuhku, meresap ke setiap sel-sel darah, lalu menjadi perisai terhadap serangan tajamnya semilir gunung, barangkali ! J

Lalu,ku manjakan lidahku dengan seseguk kopi susu yang mulai dingin ditakulkkan angin gunung, yang terasa masih nikmat. Sementara lagu Kerinci seperti Zalanen: Dateung, majaloe angain, titan hideuk, bujalen dalon hujeang. Atau senandung monalisa: rayo kadue, kasih ngan tabueng, atau lainnya, yang pasti bukan rentak kudo J,memanjakan telinga, melahirkan udara melankolis, membawaku terbang pada masa lalu,menjadi nada pengiring slide masalalu yang bergantian dalam langi-langit ingatan.

Diiringi musik nyanyian Kerinci, ku bebaskan mata memandang hamparan daratan cahaya dari ketinggian 2891 mdpl, mata ku dimanjakan oleh semarak lampu perkotaan. Sejenak aku terpaku “adakah pemandangan yang lebih indah dari pada ini, melihat cahaya yang menerangi satu-tiga kota, yang mebentang sepanjang jalan, barangkali ada yang lebih baik, dan sudah pasti ada, tapi untuk malam ini, inilah moment paling indah,” paduan cahayanya menyihir ku—mengurai senyum di bibirku, cahayanya menyala-nyala dalam hatiku, menerangi sudut gelap dalam hati yang sudah lamatak ku rasakan, tak bisa ku pungkiri, aku terpesona dibuatnya.

Sesudah itu, inilah cara yang aku ciptakan sendiri, aku memulainya dengan berdiri tegap,menengadahkan wajah menantang langit, lalu aku bentangkan kedua tangan, lalu kupejamkan mata, memulai memburu kenikmatan ditegah siksa: ku biarkan wajahku diterpa rintik-rintik hujan, ku biarkan tajamnya similir gunung menyelusup kedalam pori-poriku, menelusuri darahku, yang sesekali juga menusuk-nusuktulangku.

“biarlah, kuresapi dan hayati sebuah kenikmatan yang tak bisa kuulang dan bisa ku beli”

Aku biarkan angin dan hujan bertingkah sesukanya padaku, membiarkan mereka menghukum atas ketidak sukuran pada nikmta Tuhan, ketidak taatan Tuhan. Dibawah terpaan hujan, aku berteriak sekeras-kerasnya, membiarkan gelombang suara menantang hujan, melesat tinggi menyelinap di balik rintik-ritik hujan, rasalelah meluap, terbang di bawa oleh angin ketinggian.

Terakhir, Ku tutup dengan sebuah do’a sederhana, dibawah langit ciptaa-Nya, dengan nada manja “Tuhan, terimakasih ya, atas nikmat-Mu, aku bahagia malam ini,” aku bilang begitu. Aku merasakan dengan iman Tuhan tersenyum melihatku, karena yang aku tahu, Tuhan menyenangi pemuda yang bersyukur atas nikmat-Nya. J

Kota Iman, 18 Agustus 2014
Mandira, akan kau dapati dimana orang-orang baik—beriman dikucilkan, dicemooh, diejek, direndahkan, ditertawakan.

Kau tak percaya? Baiklah Mandira, Meski tulisan ku tak terlalu bagus untuk kau baca, tapi izinkan aku untuk bercerita.

Dua hari lalu aku melihat teman sekelas kita, Naila, berjalan dengan kerudung panjangnya—menutupi perhiasannya—aurat menuju gedung kuliah sambil mendekap dua buah buku, gaya khasnya. Awalnya dia nampak seperti hari biasanya, tapi  ketika dia menaiki sebuah tangga, ku dapati kepalanya tertunduk, wajahnya memerah, langkahnya tiba-tiba dipercepat memasuki ruang kuliah yang pengap. Sejenak dia termenung, lalu perlahan mengusap wajahnya sambil merapalkan sesuatu, barangkali terlihat semacam mantra penenang diri. Bukan tanpa sebab, di tangga itu, Naila, mendapatkan kata sambutan tak menyenangkan, kata-kata ejekan diakhiri tawa cemooh dia dapatkan dari beberapa teman yang sedang mengobrol di tangga itu.

Suasana lokal kala itu terasa beda, sinar matahari terasa menyengat, bulir-bulir keringat menerjuni dinding-dinding muka--membasahi wajah, Andi sesekali mengusap wajahnya dengan tisu “duh panas ya!” katanya, seketika semua mata tertuju padanya. Apa yang dilakukan Andi bak seperti virus menyebar melalui angin-angin kemalasan, menular ke sebagian penghuni ruang, gelisah tak menentu, suara-suara kecil mulai menyeruak.

Pak Budi mengalihkan badannya, menggeleng-gelengkan kepalanya “diam” katanya tegas, sarat amarah, matanya tajam. Setelah itu Pak Budi berjalan menuju singgasana para dosen, sejenak menarik nafasnya lalu mengeluarkannya dengan teratur “kita sudahi saja kuliah hari ini”,  Pak Andi barangkali juga sudah bosan dengan proses belajar yang membosankan.

Semua girang, senyum-senyum melirik tetangga sebelah. Memang terkadang kuliah tak memeberikan pilihan lain selain: mendengar, mencatat, diskusi dan ulangan.

Ruangan kuliah mulai ditinggalkan penghuninya, aku, Naila dan beberapa teman yang tak perlu ku sebutkan namanya, terakhir keluar ruangan.

Naila nampak merapihkan bukunya, lalu berjalan menyebrang keluar ruangan, seketika aku dapati sekelompok wajah yang tadinya girang, manis-manis, berubah menjadi raut wajah kebencian, mulut-mulut liar mulai menerobos batas kewajaran, “katanya ustadzah, gak boleh pacaran, tapi kemaren boncengan sama cowok, huuuu dasar cewek munafik”.

“ciisss, percuma aja lu pake jilbab panjang, tapi munafik” timpal teman yang satu lagi diakhiri dengan tawa kebencian.

Naila terus melangkahkan kaki ke luar ruangan, mengabaikan ocehan mulut-mulut liar,  lalu terlihat merapalkan sesuatu, barangkali bacaan penenang diri.

Mandira, barangkali masih banyak Naila-Naila lainnya, termasuk kau dan aku.

Oh ya, aku lupa, empat hari yang lalu, Naila bersama dengan kakak laki-lakinya, bukan seperti yang mereka persepsikan.

Mandira, ketika kau berusaha hidup sesuai dengan ajaran Allah, lihatlah Mandira, akan kau dapati kata-kata yang barangkali menusuk hatimu, “wis udah jadi ustadz nih” sambil nyengir, atau “asslmkum ustdzah” dengan nada cemooh, atau akan kau dapati ketika kau berbicara tentang kebaikan, ”mulailah ceramah” dengan wajah tak senang. Yang terkadang menyakitkan.

Mandira,  Allah telah menjleasakan dalam firman-Nya, bacalah dengan iman “ Sesungguhnya orang-orang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadpan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya”(Q.S. AL-Muthaffifin: 29-30)

Lihatlah Mandira...

Akan selalu ada orang-orang yang mengusik kenyamanan atas baikmu—iman, akan selalu ada manusia yang tidak senang dengan kebaikanmu, kemudian mereka merendahkanmu, mngejekmu dan mencibirmu.

Apakah ini semacam kutukan? tidak, tepatnya ini sebuah konsekuensi dari jalan yang kita pilih, bukankah setiap persimpangan yang di pilih menawarakn kerikil-kerikil tajam, sama halnya dengan setiap pohon yang besar akan selalu ada badai yang akan menghantamnya, semakin kuat iman-mu maka akan semakin kencang badai yang akan menerpamu, tapi, berbahagialah, badai yang datang adalah bukti keimananmu, bukankah Allah telah berkata “tidaklah beriman seseorang sebelum Aku uji keimanannya...”

Mandira jika kau merasa lelah dengan sikap mereka, jika kau mulai marah dengan ejekan mereka, kan ku beri sebuah rahasia untukmu, ikutilah aku, pejamkan matamu, lalu ucaplah dengan iman “subhanallah walhamdulillah walailahaillah waulahuakbar” rasakanlah sebuah getaran kedamainn dari Allah merambat ke hatimu.

Tapi. Mandira, yakin dan percayalah orang-orang baik—beriman tak kan pernah Allah biarkan berjalan sendiri, yakin dan percayalah Allah selalu bersama oarang-orang beriman. tetaplah berdiri sebagai orang baik—beriman. Biarkan Allah yang bertindak atas sikap mereka pada orang-orang beriman. Itu janji Allah loh.

Terakhir, ikutilah aku, pejamkan matamu, ini mantra yang ku dapati dari Naila, yang sering dia rapalkan, ucaplah dengan iman “subhanallah walhamdulillah walailahaillah waulahuakbar” rasakanlah sesuatu mendesir manja dalam hatimu, memberikanmu ketengangan, mengusir jauh rasa amarah, kebencian, dendam dalam hatimu, semua penyakit hati yang dalam hatimu menguap di setiap hembusan nafasmu.

Ketika terbersit rasa benci, marah, dendam dalam hatimu, maka ucaplah dengan iman-mu “subhanallah walhamdulillah walailahaillah waulahuakbar”

rasakanlah sebuah tangan membelai lembut hatimu—memberikan kedamaian.

Selamat mencoba... :-)
Aku kali pertama melihatmu pada januari, tepatnya pada hari minggudisebuah acara yang kami adakan. Dan kau adalah salah satu pesertanya.

Masih ingat dalam ingatanku, kalau tak salah kau duduk di depan ku, saat itu aku memandangi seluruh peserta yang datang, namun tetiba bola mataku berhenti pada satu orang yang hanya berjarak 5 meter tepat di depan ku.

Ya, dia adalah kau, yang tepat di depanku, kau tampak begitu anggun dengan pakaianmu yang sederahana. Ah, Nyatanya mata ini punya alasan untuk behenti dikamu.

Wajahmu yang bersih, putih merona, seyummu bak pelangi yang begitu indah di pandangi, “kau nampak berbeda dari yang lain, ada sebuah pelangi yang ku lihat dari dirimu,” kata hatiku sambil tersenyum kecil.

Seketika, aku tak begitu mempedulikan acaranya, memperhatikanpun tidak, karena perhatianku dialihkan oleh sesorang yang berjarak 5 meter didepanku. Bahkan sebenarnya ingin rasanya meminta panitia untuk segera menyudahi acara secepatnya.

Kau tau, mataku sesekali memerahatikanmu, melihat paduan warna; senyummu, ekspresimu, dan matamu yang menarik hati, ada daya tarik tersendiri yang kaumiliki.

Ya, kau seperti magnet, menarikku untuk mendekatimu, mungkin hanya sekedar “say hello padamu”.

Nyatanya unsur magnet mu lebih besar, kau tak kuasa menahannya,menarikku segera menemuimu, dan berkata

“Dek Ayu itu yang mana ya?” tanya ku, sebenarnya aku tak tau apa yang ku katakan, terbersit begitu saja, namun yang jelas daya tarikmu begitu kuat, membuatku mengikuti pusaran daya itu, dan daya itu adalah kau. Ayu hanyalah sebuah alasan untuk menemuimu.

“udah duluan pulang kak, kenpa? Jawabmu.

Ah suaramu begitu unik, warna suaramu dengan cepat di tangkap oleh ingatan, mewaranai seluruh saraf-saraf otakku.

“nggak ada, cuman teman kak banyak yang penasaran dengan nama Ayu,” jawabku dengan kaku, sementara kurasakan rongga-rongga dada bergetar.

“Ooo...kirain ada yang penting, kalau begitu saya duluan ya kak,” katamu di akhiri lengkungan senyummu senyum mu yang puitis.

Lalu kau mengalihkan badanmu, berjalan dengan perlahan menuju pintu keluar, di sisi lain aku yang di belakangmu terpaku tak berdaya, degup jauntungku bergetar begitu cepat, senyum mu yang puitis menenggelamkanku.

Ingin rasanya aku menghentikan langkah mu “dek tunggu dulu, kalau boleh tau siapa namamu?” namun aku tak kuasa menanyakannya, aku tak bisa berucap apa-apa karena laju degup jantungku melaju yang begitu cepat.

***

Entah ada angin apa, kita lalu beteman di jejaring sosial ; Facebook. Media sosial memang saat ini merubah cara kita berkomunikasi, di mana dia bisa menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh.

Ah, lupakan tentang medaia sosial yang telah merubah cara interaksi kita, yang jelas dari sinilah aku tau namamu adalah Nuri.

Nuri ingin ku katakan pada mu “ kau memang seperti halnya burung nuri yang cantik dengan paduan warnanya, begitulah kau, ku akui kau memang cantik”

Nuri, kau sepeti magnet dalam hidupku, menarikku pada pusaran yang tak bisa untuk di deifinisi, aku seperti terperangkap dengan sesuatu yang tak ku ketahui, tak bisa lari, karena aku telah melakat dengannya,yang jelas ini tentang sebuah perasaan.

“ah mungkikah aku terprangkap dengan yang nama C.I.N.T.A” kata hatiku
Malam terasa sunyi, tak terdengar lagi sahutan jangkrik yang mengusik keheningan malam, bulan terlihat begitu indah dengan bulatannya yang sempurna, di sisi lain tetangganya sang bintang sesekali mengedipkan cahaya keemasannya.

“Mungkinkah aku terperangkap dengan yang namanya C.I.N.T.A?” sebuah kata yang tak bisa di deskripsikan dengan teori, tapi dia nyata.

Sebenarnya aku tak begitu paham dengan yang nama cinta. Aku melihat teman-teman sekitarku dengan mudahnya meng”obral” cinta, cinta begitu murah di mata mereka seingga membiarkan cintanya digilir oleh orang-orang yang belum tentu akan mejadi pendamping hidupnya, bagaimana mungkin kita menyatakan cinta ketika di kotori dengan nafsu, bagaimana mungkin orang-orang mengatakan cinta tapi justru melanggar hukum-hukum Tuhan, aku punya satu pertanyaan “ketika cinta di buktikan dengan melanggar hukum-hukum Tuhan, apakah itu tetap namanya cinta?”.

Pikiranku kembali terbayang padamu yang saat itu berjarak 5 meter tepat di depanku, masih ku ingat lengkung senyummu yang puitis, dan disaat mata kita bertemu dikala aku meyapamu.

Sebenarnya ingin sekali aku ungkapkan perasaanku padamu, tapi lidah ini kelu untuk mengatakannya, bukan masalah aku tak punya nyali, apalagi kau tak bisa menerimanya, tapi hany satu yang bisa membuatku bisa bertahan, meski pergulatan panjang dengan hati sendiri, meski harus membiarkan hati sesak karena terpendam, hanya satu, yang membuatku masih diam dalam gundahku, karena “aku belum halal bagimu”.

Kerinci, 24 juni 2014